DR. Johan Boudewijn Paul Maramis

Kalau di zaman kemerdekaan Indonesia memiliki Diplomat Internasional sekaliber Lambertus Nico Palar asal Sulawesi Utara yang menjadi perwakilan RI pertama di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), maka mungkin nama Johan B.P. Maramis adalah Diplomat Internasional asal Sulawesi Utara yang “terkenal” di badan dunia tersebut setelah era kemerdekaan, walaupun ironisnya nama pria kelahiran 23 Januari 1922 ini mungkin tak terlalu familiar di telinga komunitas masyarakat Sulawesi Utara.

Alumnus Universitas Leiden Belanda tahun 1951 ini memang namanya tak terlalu dikenal di daerah tempatnya berasal, karena sejak tahun 1954, Johan telah bertugas di luar negeri, dengan Iran sebagai negara yang menjadi anak tangga pertama karir diplomatnya di luar negeri. Di negeri Ali Khameini ini, Johan sempat membantu Presiden RI Pertama Soekarno sewaktu transit di Iran dalam perjalanan ke Moskow tahun 1956.
Tahun 1958, Johan ditunjuk menjadi Wakil Kepala Direktorat Organisasi Internasional hingga tahun 1960 dan beberapa kali menjadi Anggota Delegasi Republik Indonesia ke beberapa kali Sidang Umum di PBB.
Karir Johan di dunia diplomat pun terus meroket. Tahun 1960 hingga 1965 ia ditugaskan sebagai Counsellor padapenempatan pertama di PERUTUSAN TETAP RI di PBB yang bertanggung jawab untuk urusan: Ekonomi, Sosial dan Keuangan.

Di masa itu, ia mengukir prestasi dengan pernah dipilih menjadi Wakil Ketua & Sekretaris di Badan-badan PBB, antara lain: Ketua Dana Khusus PBB, Ketua Badan Modal PBB, dan lain-lain. Satu yang perlu dicatat, Johan dipilih sebagai Ketua Badan Ad.Hoc PBB untuk koordinasi program-program bantuan teknis PBB yang akhirnya mengusulkan dibentuknya organisasi di bawah PBB yang sangat terkenal hingga kini, yaitu UNDP. Akhirnya, sejarah pun harus mencatat bahwa Johan Maramis adalah “orang penting” yang ikut membidani lahirnya UNDP.
Sebelum Indonesia akhirnya menarik diri dari keanggotaan PBB pada 1 Maret 1965, Johan sempat terpilih menjadi Ketua Kelompok 77 Negara-negara Berkembang. Sewaktu RI kembali aktif sebagai Anggota PBB September 1966, ia kembali menjadi Anggota Delegasi Republik Indonesia. Pada konflik Irian Barat, peran Johan pun begitu dominan, ketika ia ditunjuk oleh Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Luar Negeri RI kala itu, sebagai Ketua Panitia Politik Ac of Free Choice, dimana pada tanggal 2 Agustus 1969 secara resmi. Irian Barat yang sekarang disebut Papua, memutuskan tetap menjadi bagian integral dari wilayah RI.
Di tahun tersebut Johan ditunjuk menjadi Anggota Delegasi Indonesia pada Konferensi Asia Afrika di Aljazair, yang batal dilaksanakan karena Presiden Aljazair kala itu, Ben Balla, digulingkan dari tampuk kekuasaannya.

Di tahun yang sama, Johan ditunjuk menjadi Anggota Delegasi RI ke Sidang Umum PBB.
Masih di tahun tersebut, untuk kedua kalinya Johan ditugaskan pada penempatan kedua sebagai Wakil Utusan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan gelar Duta Besar untuk urusan Ekonomi, Sosial, Keuangan serta menjadi Wakil Indonesia untuk ECOSOC.

Di Dewan Ekonomi dan Sosial PBB ini, Johan terpilih menjadi Wakil Presiden tahun (1969), dan setahuan kemudian ia menjadi PRESIDEN ECOSOC, dan kembali mencatatkan sejarah sebagai orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menduduki posisi tersebut.Setelah tahun 1971 ikut mensponsori dan membantu Menlu Adam Malik menjadi Presiden Majelis Umum PBB ke-26, Johan kemudian diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Belgia merangkap Luxembourg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (1972-1973).

Karir Johan tak meredup setelah lepas menjadi Dubes, karena setelah itu Johan bahkan “lompat tangga” dengan menjadi Sekretaris Executif ECAFE di Bangkok dengan kedudukan Assistant Secretary General dan kemudian diangkat menjadi Under-Secratary General UN (PBB).  Walaupun sejak tahun 1978 telah pensiun dari Departemen Luar Negeri, dan tahun 1981 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), toh lelaki yang wajahnya dijadikan perangko di negara Nauru ini, masih terpilih menjadi Sekjen Asosiasi Kerjasama Antar Parliamen Negara-negara ASEAN (AIPO) sejak tahun 1990 hingga 1993, dan merupakan Sekjen AIPO yang pertama sejak badan ini mulai didirikan tahun 1990.

Karir diplomat yang mentereng dan megah tak membuat ayah 6 orang anak dan kakek 13 orang cucu ini, ikut hidup dengan “mentereng” dan bergelimang “kemegahan” karena lelaki “asli” Tondano ini diakhir hayatnya hidup sangat sederhana di kampung halamannya Tondano yang dikelilingi untaian panorama padi menguning, sambil menghabiskan masa senja …… masa senja dari seseorang yang puluhan kali mengharumkan nama Bumi Pertiwi ini..

Seorang legenda hidup dunia Diplomatik Indonesia, yang kini akhirnya  berpulang ke pangkuan Sang Bapa pada tanggal  8 Maret 2012 (89 thn) setelah berjuang melawan penyakit stroke yang dideritanya.
======================================================================
Johan Boudewijn Paul Maramis
Tanggal Lahir          :     23 Januari 1922
Meninggal               :      8  Maret 2012
Pendidikan              :  Sekolah Belanda SMA Raja Willem III SMA 5 tahun, bagian B, Batavia (Jakarta),
20 Mei 1941 lulus Bidang Sosial-Politik di Universitas Leiden, Belanda, 14 Maret 1951.
Karir Diplomatik     :    Masuk Deplu Tahun 1951; Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1969-1972; Presiden Dewan Ekonomi & Sosial PBB (ECOSOC), tahun 1970; Duta Besar Luar Biasa & Berkuasa Penuh RI untuk Belgia, Luxembourg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) tahun 1972-1973; Under Secretary General UN (PBB) tahun 1973-1981; Sekjen AIPO (Sekjen Pertama) tahun 1990-1993.
Sektor Swasta         :    Wakil Presiden IEU School of Management; Anggota Dewan Pembina Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta; Komisaris PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, selama 14 tahun; Wakil Executive President LSPM Minaesa yang mensponsori dengan UNDP, penanaman pohon seho untuk keperluan industri; Anggota Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK).
Lain-lain                 :    Penerima Bintang Grand-Croix de L’Ordre de Leopold II 1973; Penerima Gelar Doktor
Kehormatan dalam bidang Ilmu Politik dari Universita Hankuk, Seoul, Korea Selatan
Mengganti nama ECAFE ke ESCAP, selanjutnya ia dinamakan Mr. ESCAP; Penerima Perangko dengan wajahnya di Nauru Pasifik sewaktu membuka Kantor Penghubung ESCAP di Pasific; Mengaktifkan proyek sungai Mekong; Mendirikan Pusat Perkembangan untuk Asia dan Pasifik di Kuala Lumpur, Malaysia; Penerima Resolusi secara aklamasi atas jasanya memimpin ESCAP dan AIPO; Penulis buku “A Journey Into Diplomacy”; Penulis 15 karangan tentang “Glimpses of My Diplomatic Career”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laksamana TNI Pur. Rudolf Kasenda

Ventje H. N. Sumual

A.A. Maramis